Aku menutup telepon.
"Tuhan! aku nggak kuat. Apa yang terjadi? Kenapa jadi gini? Aku..."
Air mataku tak tertahankan lagi. Aku menangis sekeras-kerasnya?
"Aku harus melepaskan masalah ini, kan, Tuhan? Tak perlu kupikirkan lagi, kan? Ahhh! Aku mau buang saja! Aelama ini percuma, apapun yang kulakukan tak ada gunanya."
Tak ada jawaban. Bahkan sepertinya Tuhan tak mendengar ada seseorang yang menangis.
"Tuhan.. ke mana kau?" aku terus terisak.
"Tuhan, sudah berapa lama, kau lihat... aku terus setia dalam perkara ini, aku terus menunggu..."
Aku menarik nafas panjang. Duduk di ranjang. Sejenak terdiam, kemudian kutelungkupkan kepalaku di atas bantal. Aku menangis lagi.
"Tak ada hasilnya, kan, Tuhan? lihat.. sia-sia. Semakin buruk, semakin tak ada harapan, semakin mustahil. Semakin konyol.. Apa kau memang menginginkanku untuk meninggalkan perkara ini?"
Tak ada jawaban. Tetap saja aku berbicara dengan kesendirianku, mengeluh pada jiwaku, meratap pada emosiku sendiri.
"Kenapa kau tak berbicara dengan jelaaas?" aku berteriak,
"Aku tak bisa mendengarmu, Tuhan! Aku tak bisa mendengarmu! Apa? Ayo berkata-katalaaaah.."
Aku menangis lebih keras, merengek seperti bayi. Aku putus asa. Aku tak tau apa lagi yang harus kukatakan. Hatiku terlalu hancur, bibirku terlalu kelu untuk berbicara, pikiranku terlalu ruwet untuk memandang ke depan.
"Tuhan, ayo datanglah, aku mau melihatmu.. mendengarmu berbicara. Marilah, datanglah.."
Aku terus menangis sembari melihat ke seluruh sudut ruang, ke langit-langit kamarku, ke pintu dan jendela, kalau-kalau aku melihat Yesus berdiri di sana. Aku menepuk-nepuk ranjangku, seperti seorang ibu menyuruh anaknya untuk duduk.
"Ayo tuhan, duduklah di sini, di sisi kananku, atau kiriku, terserah.. atau kau mau berdiri di depanku, berbincang-bincang denganku.."
Tak ada jawaban. Tak ada seorangpun yang datang. Pandanganku kosong.
"Tuhan, aku mebutuhkanmu. Apa yang harus kulakukan?"
Aku lelah berkata-kata lagi. Aku bersandar di dinding dan mulai berpikir.
"Oke, aku mau balik jalan. Aku nggak mau pedulikan masalah ini lagi. Aku mau pergi, aku mau berlari menjauh, aku tak akan memikirkannya lagi."
"Anakku, jika kau setia dalam perkara kecil, kau akan kuberi perkara-perkara yang lebih besar lagi. kau tau, berapa lama aku dulu menunggumu bertobat? 17 tahun aku menunggumu. Mulai kecil aku menunggumu. Kau tidak semakin baik, tidak semakin ada harapan. Kau semakin liar, semakin jahat, semakin mustahil sepertinya kau mau mengenalku. Aku tak pernah menyerah untuk menunggmu, bahkan pada saat kau akhirnya berkata, 'aku benci Tuhan' dan pada saat kau menyebarkan pada teman-temanmu paham ateisme-mu itu, dengan berkata, 'Tuhan itu tidak ada, hanya mitos' dan kau masuk ke gerejaku dengan penuh penghujatan. Tapi aku bersikeras untuk mencintaimu. Karena aku memang berkomitmen untuk tak pernah menyerah."
Aku menangis lagi. Aku menangis dan tertawa. Sukacita mengalir seketika itu juga. Kedamaian dan kesempurnaannya seakan bersinar-sinar di seisi ruang kamarku. Kemuliaannya bagaikan banjir, dan kasihnya membalut luka-luka keringku.
"Ya, aku tak akan pernah menyerah. Aku tak akan meninggalkan perkara ini. Kau tak akan berhenti berharap, tak akan berhenti berdoa sampai aku melihat perubahan."
"AnakKu.. aku ingin kau ingat satu hal. Manusia adalah manusia, dunia adalah dunia, masalah adalah masalah. Tak ada satupun dari mereka yang dapat mengubahKu dan kekuatanKu."
Aku tersenyum.
"Ah, Tuhan. Kenapa kau tak datang saja ke sini dan berbincang-bincang denganku seperti dulu yang pernah kau lakukan? Aku ingin melihatmu lagi."
"Untuk apa? kau bisa mengerti hatiku tanpa aku harus bertemu denganmu kan? Berlarilah. Aku tau kau mampu berlari dengan semua beban-bebanmu itu. Aku akan memperkuat bahumu, itu saja, tanpa kau harus mengangkat bebanmu. Kau tau kau kuat. Tak perlu kau minta kugendong. Mataku melihat kau bisa berlari."
"Aku bangga memiliki Allah sepertimu."
No comments:
Post a Comment